Sebelumnya, Selamat HUT ke-73 Nusantara kita, Dirgahayu Republik Indonesia.
Ketika di bangku MI-SD Seorang guru sering menasihati ; Bentuk menghargai Jasa Para Pahlawan bisa dengan Tertib mengikuti Upacara Senin pagi, Belajar yang rajin, tidak membuang sampah sembarangan atau boleh jadi dengan tidak saling mencaci dan berkelahi. Amat bijak lestari Guru kita mendidik.
Beranjak dewasa tentu kita menyadari nasihat tersebut amat baik dan benar namun tidak sesederhana sebagai bentuk tanggung jawab banhsa yang terdidik dibangku sekolah puluhan tahun. Ada banyak hal yang belum sempat terfikirkan, ada banyak ruang yang dibiarkan hampa tak bermakna, ada banyak kata yang tak sempat di eja serta banyak manusia cerdas yang saling membodohi sesama. Sungguh sebuah ironi yang menyayat hati seorang guru bahkan pahlawan yang tak sempat menerima tanda jasa.
Belakangan, alih-alih melanjutkan perjuangan dengan modal mulut berbusa busa kita mengharapkan masa indah hari berikutnya justru masa suram yang tinggal menunggu waktu tiba, Manipulatif !. Kita yang terlahir dari anggaran rumah tangga orang tua, puluhan tahun terdidik dari keringat pendidik ditengah situasi mencekik, hanya menjadi beban masyarakat dengan kekecewaan yang diharapkan sebagai penjawab kebutuhan. Tak ubah sebuah pabrik, kita adalah produk-produk gagal yang dijual murah dengan kandungan gizi rendah yang ujung-ujungnya menjadi sampah. Sungguh, tiada tangis paling tragis dari mata para pejuang daripada melihat pengorbanan mereka terlunasi dengan realitas pahit ini.
Akal sehat tergadaikan, Kehormatan Dijajakan. Disaat yang lain sudah bisa menikmati bulan dibawah pijakan kakinya, kita masih berisik memperdebatkan Manis asinnya harga terang bulan hingga diskusi panjang tentang jadwal pacar datang bulan. Kita masih sibuk berdebat siapa yang paling Aku, dengan kejam menikam berebut kekuaaaan, saling menghujat dan berkhianat. Bangsat Bangsat Bangsat, ini bukan kita, ini bukan kita, bukan ! Jangan sampai kita merasa malu telah dilahirkan dengan kondisi yang ada.
Menjadi tradisi, perayaan Agustusan diwarnai Merah-Putih-putih-merah dari sudut kota hingga pojok desa. Upacara sakral dilakukan, ucapan penuh bangga dari mulut berkepentingan berkeliaran. Tidak sesederhana itu, tidak. Masih ada banyak narasi dan ruang yang menjadikan bangsa ini Merdeka dalam Keterjajahan sedang diwaktu yang sama kita Merdeka dalam keterjajahan. Adaptasi dimulai, pertahanan tak terfikirkan. Lalu, dengan bangganya kita menjadi bagian didalamnya.
73 Tahun yang lalu, Jum’at Ramadhan 17 Agustus 1945 di Jln. Pegangsaan Timur No 56 Jakarta jam 10 Pagi dalam situasi para founding father bangsa ini berpuasa, derai Airmata syukur atas kemerdekaan Indonesia setelah 350 tahun lebih menjadi tamu dirumah sendiri akhirnya terbayar lunas. Dalam kalkulasi logika, seharusnya bangsa ini telah berdiri sebagai negara adidaya dengan kemajuan peradaban dan kearifan leluhur yang terjaga. Seharusnya begitu, ya seharusnya begitu, seharusnya. Tapi, ahhh sudahlah. Rasanya tidak ada habisnya jika kita membicarakan kekurangan tanpa ada tindakan perubahan.
Tetapi, setidak-tidaknya ditengah derai tangis cucuran airmata menyadari semua ini, sebagai generasi kesekian kalinya kita mesti tetap memiliki sikap optimis terhadap kemajuan bangsa, kepercayaan terhadap kebaikan negara, perubahan yang akan kita perbuat secara nyata. Karena kita Garuda !
Narasinya : Menjaga dan Merawat Bangsa ini bukan lagi menjadi Pilihan tetapi sebuah kewajiban sebagai generasi yang dititipi Warisan oleh Nenek Moyang untuk Anak Cucu kita.
Kuncinya : Mau memiliki kemauan untuk mau mewujudkan kemauan kita !
Wujudnya : Indonesia Jaya !
19. 10 Wib. Sumenep, 17 Agustus 2018. Penuh emosional kutuliskan ini sebagai nasihat untuk diri sendiri.
(ezzen)
Merdeka dalam Keterjejahan Atau Sebaliknya

What’s your reaction?
Love0
Sad0
Happy0
Sleepy0
Angry0
Dead0
Wink0
Leave a Reply