Malam melarut,
Di samping jendela anak-anak seperti pengecut
Merasa tergusur dengan lakon ibu tetangga yang membakar jasad ayahnya;
“manusia yang disia-siakan manusia”
Begitulah ratapan bermula,
padi ditumbuk membangunkan sapi yang kotor sendiri
Meneguk salivanya tanpa henti,
rumput dan bambu disapu angin merangkak sepi
Di setiap pagi menjemput dan subuh berpulang
Selalu ada mayat berserakan memenuhi halaman
Diketuk-ketuk tak juga bangun,
mereka tetap mesra memeluk celana dalam, potret usang, nasi basi,
Dan huruf absurd yang menggantung di perutnya
Skandal mati-matian adalah jalan menuju kemakmuran
Ini desa yang selalu mentah setiap musim, tempat penduduk menabung getahnya sendiri
Siapa yang berani bertaruh ?
Kalaupun pak haji berdalih, anjing dan bir jadi makanan siap saji
Pada waktu yang luruh merawat kegelisahannya sendiri
Kesadaran adalah ketidakmampuan mereka selagi langit tak mendobrak amarahnya
Annuqayah, 2020
*Nurul Imama perempuan kelahiran Dungkek Sumenep, bergiat di komunitas PERSI (Iksabad), Supernova Ikstida, Alif Senansa, Kelas Puisi Bekasi (KPB), dan Warga Kampoeng Karamat Ngellok ta’ Amardha.
Leave a Reply