Flash Sale! to get a free eCookbook with our top 25 recipes.

Memahami Hamka Lebih Dekat

memahami-hamka
Listen to this article

Menghargai dan menghormati perbedaan merupakan pelajaran penting dalam Islam. Dengan saling menghargai dan menghormati, maka akan timbul spirit harmoni. Termasuk dalam konteks ini adalah menghargai perbedaan keyakinan dan pendapat. Perbedaan bisa menjadi rahmat bila kita bisa saling terbuka, bertoleransi, dan menghargai satu sama lain.

Adanya perbedaan bukanlah sebuah alasan untuk menciptakan saling bermusuhan, namun dijadikan modal utama untuk menggalang persatuan bangsa. Nadirsyah Hosen (2019) mengatakan, bahwa perbedaan pendapat itu muncul karena para ulama berpegang teguh pada kedua sumber otoritatif (Alquran dan Hadis) tersebut. Sementara keduanya membuka pintu dan ruang terjadinya perbedaan pendapat itu sendiri.

Fakta bahwa masih terjadi perselisihan pendapat hanya karena tidaksepemahaman atas masing-masing pandangan kemudian lahir selisih pendapat sehingga berujung permusuhan, sikap demikian itu sebagai indikasi ketidaksiapannya menerima kelompok di luar komunitasnya. Mengutip pendapat Samuel Huntington (1996), identitas sebagai kekuatan pemersatu sekaligus pemecah. Jika tidak dikelola dengan baik, bisa menjadi penyulut api konflik dan perpecahan. Dengan demikian, Pemberian pemahaman sangat mendesak untuk dilakukan untuk menumbuhkembangkan sikap saling menghormati dan menghargai itu jauh lebih penting dari pada sama-sama keras menggali jurang perbedaan (hlm. 57).

Buku ini mengajak sidang pembaca memikirkan kembali pentingnya menyikapi perbedaan melalui cara pandang yang kritis dan kreatif sehingga melahirkan sudut pandangan yang inovatif dan mencerahkan. Buku dengan judul Memahami Hamka di dalamnya memotret perjalanan hidup Prof. Dr. KH. Abdul Karim Amrullah—selanjutnya disebut Hamka. Kesadaran atas perbedaan yang tumbuh dan berkembang di sekitar masyarakat tanpa harus diusik dan mengusik pihak lain merupakan pendidikan yang secara konsisten terus diajarkan Hamka selama ini.

Hamka adalah tokoh yang multitalenta: sebagai ulama, pejuang, sastrawan, wartawan dan politisi. Dakwahnya santun dan menyejukkan. Walaupun dia dididik dan dibesarkan di organisasi perserikatan Muhammadiyah, bukan berarti dia salah satu tokoh yang fanatik. Ada dua konteks yang diangkat buku ini, antara lain: pertama, tentang Akidah dan pemikiran.

Banyak kepercayaan religius di Indonesia yang dianut masyarakatnya. Agama-agama yang dianut mencakup sebagian besar agama-agama di dunia saat ini. Alwi Shihab (1994) mencatat, ada sekitar 85% warga Indonesia memeluk Islam, sisanya yang 15% terbagi dalam agama Hindu, Buddha, dan Kristen. Toleransi menjadi penting mengingat keragaman ini dapat menjadi bencana yang mengandung potensi konflik. Karenanya Hamka menekankan pentingnya toleransi agar tercipta kerukunan dalam menggalang spirit persatuan bangsa. (hlm. 374).

Kedua, penulis menghadirkan buku ini untuk mempertegas kekeliruan yang seringkali dialamatkan kepada Hamka, sekaligus memberikan jawaban: semisal membaca qunut subuh, amalan ritual tahlilan, poligami, dan pembaiatan Hamka terhadap Abah Anum—pemimpin pesantren Suryalaya, Tasikmalaya. Seperti ditegaskan Haidar Musyafa, untuk memahami Hamka dibutuhkan kemampuan lebih, selain informasi yang akurat tentangnya juga tidak membaca opini liar yang terkadang menyebabkan salah persepsi memahaminya. Kemampuan membaca dan menafsrkan kembali beragam gagasan penting Hamka secara kreatif itulah yang dimiliki Haidar Musyafa, sehingga sosok Hamka yang moderat itulah bisa pembaca temukan setelah memiliki buku setebal 576 terbitan Pustaka Iman ini.

Pada konteks kedua ini, Hadar tidak membenarkan jika Hamka sebagai seorang ulama yang kaku dan kolot yang tidak bersedia berkompromi dengan golongan yang berbeda dan tidak sepemikiran, sebagaimana diisukan oleh sebagian kalangan selama ini, melainkan ia sebagai ulama yang luwes dalam berdakwah, memiliki jiwa toleran yang tinggi dalam menghadapi perbedaan—termasuk dalam konteks ini perbedaan yang sifatnya furuiyyah.

Keunggulan buku ini, penulisnya, Haidar Musyafa, berhasil menghidangkan keluasan pemikiran Hamka secara proporsional dalam beberapa artikel dalam buku ini. Sayang, di balik keunggulan itu buku ini juga memiliki kelemahan. Di samping ditulis oleh orang dalam sendiri, yang memiliki sikap organisasi (Mahammadiyah) yang sama, unsur subjektivitas juga tidak bisa dilepaskan dari penulisnya. Hal yang demikian itu bisa disaksikan ketika penulis menulis bahwa qunut tidak ada dasarnya (hlm. 55).

Mengenai Hadis qunut, banyak sekali didapatkan di dalam kitab-kitab Hadis. Ustad. Idrus Romli dalam salah satu tulisannya, misalnya, mencatat, ada banyak sekali Hadis yang menjelaskan tentang keutamaan membaca qunut. Ada beberapa Hadis yang dijadikan Imam Syafii dan pengikutnya dalam membaca qunut shalat Subuh, yang artinya:

“Dari Muhammad bin Sirrin, berkata: “Aku bertanya kepada Anas bin Malik: “Apakah Rasulullah Saw membaca qunut dalam shalat shubuh?” Dia menjawab: “Ya, setelah ruku segera.” (HR. Muslim, hadis nomor 1578); “Dari Anas bin Malik, berkata: “Rasulullah Saw terus membaca qunut dalam shalat fajar (Subuh) sampai meninggal dunia.” (HR. Ahmad (3/162), Al-Daraquthni (2/39), Al-Baihaqi (2/201) dengan sanad yang shahih). Dan masih banyak lagi dalil keutamaan membaca qunut lainnya yang dijadikan dasar atau pegangan sebagian kalangan yang mengamalkan qunut. (*).

DATA BUKU:
Judul: Memahami Hamka The Untold Stories
Penulis: Haidar Musyafa
Penerbit: Penerbit Imania
Cetakan: I, September 2019
Tebal: 576 Halaman
ISBN: 978-602-7926-50-6

Penulis: Ashimuddin Musa, santri PP. Annuqayah Guluk-guluk Sumenep. Mahasiswa fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.