Oleh Riri Khariroh (Dosen di FIN UNUSIA Jakarta)
Jawa Era Pra-Islam
Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya (Jilid 3, 2008) menjelaskan bahwa para antropolog Eropa yang mempelajari masyarakat-masyarakat Indonesia bagian timur sering menyebut pembagian tugas dan kekuasaan yang merata antara kedua jenis kelamin. Struktur yang mendalam itu terdapat pula dalam masyarakat Jawa pra-Islam. Ada beberapa teks epigrafi yang membenarkan bahwa perempuan pada waktu itu mengambil bagian besar dalam kehidupan ekonomi dan politik. Di Jawa gelar kebangsawanan dapat diturunkan baik lewat perempuan maupun laki-laki. Peranan perempuan dalam periode awal kerajaan-kerajaan Jawa, sejumlah nama tokoh perempuan yang penting terutama Rajapatni yang merupakan anak Kertanegara, dan putrinya Ratu Tribhuwana, memegang peran yang sangat penting dalam kehidupan politik zaman mereka.
Peranan tokoh-tokoh perempuan dalam kedewataan Hindu-Jawa: Dewi Sri, Durga dll juga dikebal. Di antara tokoh perempuan dalam pewayangan, yang paling menonjol adalah Srikandi yang gagah berani. Kita tahu bahwa raja-raja Jawa senantiasa mempunyai pasukan pengawal besar yang terdiri dari perempuan-perempuan perkasa. Bersamaan dengan perkembangan bandar-bandar (dan agama Islam) beserta masyarakat urbannya, muncul pula kecenderungan untuk membatasi kebebasan perempuan dan mengawasi gerak-geriknya. Para priyayi di Jawa mengembangkan kesusastraan yang moralis dalam melihat perempuan; “wong wadon iku suargane nunut, nerakane katut”, perempuan itu harus mengikuti (suaminya), baik ke surga maupun ke neraka. Untuk selanjutnya mereka boleh dikatakan disisihkan dari kehidupan politik yang sebelumnya menjadi ajang mereka berkiprah.
Tak seorangpun perempuan naik tahta di Mataram atau di kota-kota pesisir; kecuali Ratu Kalinyamat yang memerintah di pelabuhan Jepara pada abad ke-16 dan berjuang melawan serangan Portugis dari Malaka, dan Ratu Fatima yang oleh Belanda ditempatkan di tahta Banten kira-kira pertengahan abad ke-18. Di lain pihak, perempuan tidak mudah tersingkir dari kehidupan ekonomi. Banyak diantara mereka yang memanfaatkan situasi ekonomi yang membaik, aktif dalam perniagaan dan perdagangan uang. Para pengamat Eropa sering menyebut peran mereka di pasar-pasar Nusantara dan sampai ke kios-kios penukaran uang. Dan Raffles (1817) mencatat tentang Jawa pada awal abad ke-19; “at the markets are assembled frequently some thousands of people, chiefly women, on whom the duty devolves of carrying the various productions to these places of traffic.” Hingga kini pun, perniagaan di pasar masih didominasi oleh perempuan.
Era Islamisasi Nusantara (Abad XIV-XIX)
Apakah benar bahwa Islamisasi Jawa menyebabkan kemunduran peran perempuan sebagaimana disinyalir oleh Denys Lombard di atas? Prof. Azyumardi Azra (Republika, 2012) mengungkapkan bahwa proses Islamisasi Jawa sejak abad ke-14 sampai 19 atau tepatnya `santrinisasi’, yaitu kian menguatnya komitmen dan praktik keislaman masyarakat Muslim Jawa, tidak bergerak lurus (linear).
Awalnya, seperti diungkapkan Ricklefs dalam buku pertamanya, manuskrip lokal mengisyaratkan dua hal kontradiktif. Pada satu pihak ada yang mengisyaratkan, Islam yang mulai menyebar sejak abad ke-14 menemukan `sintesis mistik’ dalam lingkungan budaya Jawa. Tetapi, sebagian naskah lain menyiratkan tidak terjadinya `sintesis mistik’ tersebut.
Terlepas perbedaan perspektif naskah-naskah itu, jelas Islamisasi pada masa awal menampilkan adanya sinkretisme antara Islam, agama lokal, dan budaya Jawa. Bahkan, ada semacam ketidakcocokan antara keraton dan lingkungan masyarakat yang kian banyak memeluk Islam. Barulah ketika Sultan Agung (berkuasa 1613-1646) menjadi penguasa Mataram terjadi rekonsiliasi antara keraton dan tradisi Islam.
Berangkat dari tesis di atas, penulis berpandangan bahwa peran dan posisi perempuan dalam masyarakat di era Islamisasi Jawa pun berjalan tidak linier dan sangat dipengaruhi oleh berbagai corak keislaman yang muncul yang mempengaruhi dinamika keislaman di dalam masyakat nusantara dan relasi gender yang berkembang di era kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Islam dibawa dan disebarkan oleh para pedagang dari Gujarat, India ke pulau-pulau yang menjadi pusat-pusat perdagangan. Pertama sekali ke daerah-daerah pesisir dan dipahami lebih egaliter, namun ketika Islam pesisir dikalahkan oleh Islam pedalaman (Mataram), maka wacana keislaman pun ikut dalam bingkai budaya feodal (keraton) dimana warna kelaki-lakian amatlah dominan. Namun ditengah kentalnya dominasi ideologi patriarkhi, selalu ada agen-agen yang bernegosiasi dan melakukan perlawanan terhadap ideologi yang dominan.
Lagi-lagi proses historiografi yang lebih banyak melibatkan dan menitikberatkan pada laki-laki telah memburamkan keterlibatan perempuan dalam pentas sejarah nusantara. Hal ini juga terlihat dari minimnya literatur yang membahas tentang peran dan kontribusi perempuan dalam proses penyebaran Islam di berbagai wilayah Nusantara. Dari sedikit yang penulis tahu, kontribusi Nyai Khairiyah, putri KH. Hasyim Asy’ari, merupakan salah satu ulama perempuan yang memiliki peran penting dalam proses penyebaran agama Islam di Nusantara, khususnya melalui pendidikan. Selain Nyai Khairiyyah Hasyim, sejarah telah mencatat beberapa tokoh perempuan pada awal abad XV: Putri Campa dan Putri Cina (Ibu Raden Patah, memiliki hubungan dekat dengan Wali Songo); Tengku Fakinah (1856-1933), Fatimah binti Abdul Wahab Bugis (Kitab Parukunan Melayu, 1828), Nyai Siti Walidah/Nyai Ahmad Dahlan, Rahmah El Yunusiyah (1900-1969), Syekh Fatimah binti Abd al-Shamad al – Palimbani, dll. Hubungan keluarga dan hubungan guru-murid telah membentuk interaksi ulama perempuan dengan ulama Nusantara lainnya, terutama dalam proses transmisi ilmu. Mereka melihat pentingnya emansipasi perempuan untuk meningkatkan kualitas hidup mereka.
Era High Colonial Period (1818-1942)
Peter Carey dalam bukunya Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX (cetakan ketiga,2018) menjelaskan bahwa perempuan Jawa pernah mengambil peran cukup signifikan dalam urusan politik dan masyarakat. Tahun-tahun sebelum meletusnya perang Jawa (1825-1830), peran perempuan elit sangat menentukan di berbagai bidang, termasuk politik, perdagangan, militer, budaya, keluarga, dan kehidupan sosial di istana Jawa Tengah Selatan. Para perempuan tidak hanya menjadi konco wingking. Sebagai contoh: Panglima perempuan dalam perang Jawa bersama Pangeran Diponegoro (Raden Ayu Yudokusumo dan Raden Ayu Serang/1762-1855, keturunan Sunan Kalijaga) adalah keluarga Bangsawan keraton Yogyakarta, mereka dikenal sangat cerdas dan menakutkan dan memimpin korps “para nyai”. Pada masa itu juga sangat dikenal prajurit perempuan di keraton Jawa Tengah Selatan, prajurit estri/korps Srikandi di keraton Surakarta (akhir abad 18 dan awal abad ke 19). Perempuan juga aktif di dalam dunia perniagaan, penguhubung istana dengan dunia pedesaan, penjaga tradisi Jawa, penjunjung agama, dan penggemar sastra.
Hal tersebut sangat berbeda dengan gambaran perempuan Jawa dalam Sastra Kolonial Hindia Belanda. Perempuan Jawa dari kalangan elit atau kaum priyayi digambarkan sebagai sosok Raden Ayu seperti boneka yang tersenyum simpul dan meniadakan diri sendiri. Inilah tipe perempuan elok namun kepalanya kosong. Riwayat Kartini (1897-1904) yang inspiratif meski kehidupannya tragis, dalam memberdayakan perempuan elit zamannya baru diketahui belakangan melalui surat-surat korespondensinya (Abendanon,1911). Gambaran tersebut merupakan pengaruh orientalisme (Edward Said 1978) dimana khayalan orang Eropa tentang dunia timur sebagai surga hiburan sensual, kesuburan, dan gairah seks yang tak pernah pudar. Sosok Nyai (gundik) dan ronggeng sering tampil dalam roman dan pementasan drama pengarang kolonial Belanda. Hal tersebut bertentangan dengan sosok perempuan dalam wayang kulit Jawa dimana sama-sama berani dan perkasanya dengan suami, seperti sosok Dewi Drupadi, Srikandi.
Bersambung, Baca tulisan sebelumnya.
Direpos dari Website Fakultas Islam Nusantara UNUSIA Jakarta, klik untuk membaca full artikel
Leave a Reply