Flash Sale! to get a free eCookbook with our top 25 recipes.

Perempuan dan Islam Nusantara: Reclaiming Her Story (Bagian III)

Perempuan dan Islam Nusantara: Reclaiming Her Story
Artikel ini direpos dari website Fakultas Islam Nusantara UNUSIA Jakarta, judul Perempuan dan Islam Nusantara: Reclaiming Her Story
Listen to this article

Oleh Riri Khariroh (Dosen di FIN UNUSIA Jakarta)

Perempuan dalam Sastra Jawa Abad 19

Nancy K. Florida, Jawa-Islam di Masa Kolonial ( ed. Irfan Afifi, 2020), dimana salah satu babnya berjudul Sex Wars: Menulis Relasi Gender di Abad ke 19 Jawa, menelusuri penulisan terkait hubungan gender dalam karya sastra yang ditulis di keraton Surakarta di abad ke-19. Karya dari genre sastra Islam Jawa yang dapat disebut sebagai pengajaran perempuan (piwulang putri) dan juga kisah Santri Kelana. Ini merupakan suatu ideologi terkait dominasi laki-laki yang menyuguhkan fantasi-fantasi yang ada pada segmen tertentu dalam kelas penguasa Jawa pada abad ke 19.

Selain wacana yang dominan tersebut, terdapat wacana lain (baik tertulis, dipertujukkan, maupun yang dlakukan dalam hidup) yang menantang realitas hegemoni laki-laki terkait relasi gender di dalam masyarakat Jawa “klasik”. “Suara Perempuan” (bisa laki-laki atau perempuan) yakni bisa pada tulisan (pembicaraan maupun tindakan” manapun yang mengungkapkan realitas-realitas perempuan, dalam cara, yang menyibak sifat “fantastis” ideologi kontrol laki-laki yang dominan.

Sebuah genre kesusasteraan pengajaran (moral) yang dikenal piwulang estri, “pengajaran untuk perempuan”. Ditulis dengan suara laki-laki yang mengintimidasi, piwulang ini ditujukan kepada perempuan ideal yang telah tunduk dengan ajaran yang dimaksudkan untuk menanamkan dan memaksakan pada elit perempuan Jawa suatu ideal “isteri utama” yang mereka (laki-laki) bayangkan. Ajaran ini menanamkan pada perempuan muda kelas atas ini menjadi isteri yang baik, patuh pada suami, menyenangkan bagi bangsawan Jawa yang sebagian besarnya mengarang karya-karya ini. Ajaran ini juga ditujukan pada isteri yang “dimadu” suaminya (yaitu suami yang berpoligami). Perempuan dituntut dalam perkawinannya untuk tunduk secara sempurna dan pasrah total pada kuasa dan hasrat suaminya. Istri yang sempurna adalah isteri yang seharusnya tidak menentang apapun keinginan suaminya. Penentangan terhadap otoritas suaminya akan menyebabkan jatuhnya azab baginya hingga siksa abadi di neraka. Pesan-pesan semacam ini diulang dalam tulisan laki-laki, rupanya dengan kenaikan urgensi di sepanjang rangkaian abad ke-19. 

Kepentingan pesan ini memperlihatkan hadirnya kecemasan elit laki-laki di hadapan datangnya ancaman potensi berbahaya dari para perempuan mereka yakni di hadapan munculnya realitas kemandirian yang hidup di dalam dan di antara perempuan-perempuan mereka, realitas yang menggerogoti fantasi keserasian rumah tangga mereka dibawah dominasi laki-laki. Sebagai contoh; para isteri Pakubuwana IX sendiri (2 permaisuri dan 51 selir) merupakan kelompok yang sulit dikendalikan. Diantara mereka banyak yang cerdas, perkasa, dan kaya dimana ambisinya melampaui benteng keraton. Mereka bukan perempuan-perempuan yang tidak mudah menundukkan dirinya kepada suami meskipun tinggi pangkatnya.

Nancy memberikan contoh Kisah Putri Sekar Kedathon yang melawan ideologi dominan laki-laki dalam “sastra pengajaran perempuan”, dimana dia memilih untuk tafakur dalam laku sampai akhir hayatnya dan menolak pinangan Pakubuwana IX. Karena kekecewaannya, kemudian Pakubuwana IX meminta para cntriknya untuk menulis Serat Murtasiyah (Cerita Murtasiyah), di awal abad ke 19. Serat ini berisi ajaran bagaimana seharusnya perempuan Jawa Islam yang seharusnya taat kepada suami dalam kondisi apapun, karena jika tidak maka azab Allah akan menimpanya dan sang perempuan akan mederita seumur hidup.

Bersambung, Baca tulisan sebelumnya.

Direpos dari Website Fakultas Islam Nusantara UNUSIA Jakarta, klik untuk membaca full artikel

admin
Pena Santri adalah media dedikasi Santri Pejuang NKRI