Syaikh Yusuf al-Makassari berasal dari keluarga bangsawan tinggi di kalangan suku bangsa Makassar dan memiliki pertalian kerabat dengan raja-raja Banten, Gowa dan Bone. Nama lengkapnya adalah Syaikh al-Haj Yusuf bin Abdullah bin Abi Khayri al-Munjalawy al-Makassary.
Syaikh Yusuf dilahirkan pada tanggal 8 Syawal 1036 Hijriah atau tanggal 3 Juli 1626 Masehi di Desa Parang Loe (Tallo). Nama tersebut merupakan pemberian dari Sultan Alauddin, Raja Gowa ke XIV, yang merupakan karib keluarga Gallarang Moncongloe, yaitu asal dari ibunda Syaikh Yusuf. Pemberian nama tersebut juga mentasbihkan Yusuf menjadi anak angkat raja.
Langlang Buana Pencarian Ilmu Syaikh Yusuf al-Makassari Ilmu
Semasa kecil, beliau dirawat oleh Sultan Alauddin bersama dengan putrinya Sitti Daeng Nisanga. Keduanya belajar mengaji beserta ilmu tajwid dengan Daenta Sammeng, seorang guru Kerajaan Gowa, di Cikoang.
Selain itu, Syaikh Yusuf al-Makassari juga belajar bahasa Arab, ilmu Fiqh dan ilmu-ilmu syariat lainnya di padepokan Bontoala yang diasuh oleh Syaikh Sayyid Ba’Alwi bin Abdullah al-Allamah Thahir. Beliau juga berguru pada wali puncak gunung Bulusaraung, Bawakaraeng dan Latimojong. Setelah mendapat bimbingan dari kedua ulama tersebut, beliau berkehendak belajar ke negeri Arab dan menunaikan ibadah Haji di Makkah. Sebelum pergi, pada usia 18 tahun, beliau menikah dengan Sitti daeng Nisanga.
Perantauan Syaikh Yusuf
Syaikh Yusuf al-Makassari meninggalkan Makassar pada tanggal 20 Oktober 1644, ketika masa pemerintahan Sultan Malikussaid. Tujuan awal Syekh Yusuf adalah ke Kerajaan Banten. Ketika di Banten, Syekh Yusuf bersahabat dengan Pangeran Surya.
Kemudian beliau ke Aceh untuk bertemu Syaikh Nuruddin Hasanji al-Raniri. Dari beliaulah Syaikh Yusuf belajar tariqat Qadiriyah dan ilmu ketatanegaraan selama empat tahun dan memperoleh ijazah.
Kemudian Syaikh Yusuf melanjutkan perjalanan menuju Yaman pada tahun 1649. Beliau menamatkan dua tariqat, yaitu Naqsabandiyah dan tariqat Baalawiyah. Setelah itu, beliau melanjutkan perjalannnya ke Mekkah.
Setelah mempelajari 5 tariqat besar: Qadiriyah, Naqsabandiyah, Baalawiyah, Syattariyah, Khalwatiyah; dan 12 tariqat kecil: Dasuqiyah, Syaziliyah, Hastiyah, Rifaiyah, Idrusiyah, Ahmadiah, Suhrawardiyah, Kawabiy, Maulawiyah, Kubrawiyah, Maddariyah dan Makhduniyah, Syaikh Yusuf merasa puas dan ingin menetap sambil mengajar di Perguruan Assyafiah, Masjidil Haram. Namun, setelah itu, beliau merasakan kerinduan terhadap kampung halaman.
Pada 1669, Syaikh Yusuf tiba di Banten. Saat itu Kerajaan Banten diperintah oleh Sultan Ageng Tirtayasa, sahabatnya. Di Banten, beliau mendengar bahwa Kerajaan Gowa telah luluh lantah dikarenakan perjanjian Bungaya.
Keadaan Makassar yang porak poranda setelah Perang Makassar membuat Syaikh Yusuf mengambil keputusan untuk tidak kembali ke Makassar dan menetap di Banten. Hal ini disambut baik oleh Sultan Banten yang kemudian mengangkatnya menjadi mufti Kerajaan Banten.
Perjuangan Syaikh Yusuf
Pada tahun 1672, saat itu, Banten juga tengah gigih melawan Belanda. Permusuhan meruncing sampai akhirnya meletus perlawanan bersenjata antara Sultan Ageng dan Sultan Haji beserta kompeni. Syaikh Yusuf al-Makassari berada di pihak Sultan Ageng dengan sebuah pasukan Makassar. Namun dikarenakan kekuatan yang tidak sebanding, maka Banten menyerah pada tahun 1682.
Setelah itu, Syaikh Yusuf menjalani hidup dalam masa pembuangan. Awalnya beliau ditahan di Cirebon dan Batavia. Namun, Pemerintah Belanda masih merasa terancam dengan pengaruhnya sehingga beliau dan keluarga diasingkan ke Srilanka pada September 1684.
Belanda masih tetap merasa terancam karena beliau dapat dengan mudah mempengaruhi pengikutnya untuk memberontak pada Belanda. Pada bulan Juli 1693, Syaikh Yusuf al-Makassari kembali dibuang ke Afrika Selatan bersama dengan 49 pengikutnya. Beliau kembali melakukan dakwah. Beliau tinggal di Tanjung Harapan sampai wafat pada tanggal 23 Mei 1699 dalam usia 73 tahun. Setelah kematiannya, Raja Gowa meminta kepada Belanda agar jenazah Syaikh Yusuf dikembalikan, namun tidak diindahkan.
Akhirnya, atas permintaan Sultan Abdul Jalil, Belanda mengabulkan permintaan itu pada 6 April 1705. Adapun keranda yang dibawa dari Cape Town kemudian di tempatkan di Istana Raja Gowa selama sehari semalam untuk memberikan kesempatan kepada sanak keluarga dan penghulu adat mengucapkan doa perpisahan. Keranda tersebut menjadi simbol yang selanjutnya dimakamkan di Lakiung.
Syaikh Yusuf al-Makassari mendapat dua penghargaan sebagai pahlawan nasional dari Indonesia pada 9 November 1996 dan dari pemerintah Afrika Selatan pada 23 September 2005.
Leave a Reply