“Islam Stabdar” tema menarik yang telah lama saya taksir kecantikannya. Ini berawal dari serial kisah dunia yang kian hari kian marak berkembang dengan obsesi tunggal yang –saya rasa—up normal. Mengapa tidak, bila melakukan suatu perbaikan harus melului jembatan perusakan, mengerjakan perintah agama—dari sisi lain—malah meninggalkan perintah Agama, berbuat atas kebangsaan dan kemanusiaan harus menciderai nilai kebangssan dan kemanusiaan yag lain.
Al-kisah, Robiah al-Adawiyah telah berhasil sampai pada puncak demensi ketuhanan yang maha agung dengan konsep Hubbub yang iya selami di masa hidupnya. Kecintaannya kepada Tuhan tak tergadaikan dengan kursi mahkota seorang raja dan segunug emas permata. Suatu ketika Hasan al-Basri hendak memperistri Robiah menjadi pendamping hidupnya, namun ia tak sedikit pun ada respon posiitif. Bahkan dalam sathahatnya ia katakan “maafkan aku Muhammad bila kau tidak mendapat ruang dalam hati ini, lantaran cinta ini hanya untuk Allah semata, Aw Kama Qalat”.
Melihat dialektika kaum sufi yang demikian—mungkin bagi penulis terlalu dini untuk mengambil kesimpulan bahwa ajaran Sumfisme hanya akan membuat manusia up normal—aliran sufistik akan menjauhkan manusia dari tugas pokoknya sebagai Khalifa fi al-Ard serta akan mengesampingkan manusia dari urusan dunya wiyah. Padahal, jelas agama, al-ur’an mengabarkan bahwa tujuan Tuhan mencipta manusia untuk menjadi peminpin di muka bumi dengan segala perangkat keistimewaan manusia berupa Akal dan fikiran. Bila demikian, habislah harapan Tuhan, hancurlah nilai agama yang sarat dengan kompleksitas ajaran persatuan, kemanusiaan dan kebangsaan. Ini salah siapa, Dogma dan diktat Agama atau salah kita yang dengan mudah menelan Dogma tersebut?
Ada juga yang merasa paling bijaksana, hendak menjalankan perintah Agama untuk senantiasa menjadi Khaifah yang memperjuangkan keshalehan malah over dan sok benar, hingga akhirnya misaplication. Hal ini bisa kita lihat pada kisah mengerikan 11 September 2009. Al-Qada telah meratakan bangunan bertingkat 47 yang setiap pancangan tiangnya dibuat dengan dua kapal terbang, dari isi selatan dan utara (baca, Suara Bawah Tanah). Hal ini tak lain adalah hasil obsisi Agama terhadap umatnya untuk senantiasa menghentikan kemunngkaran, man ra’a minkum mungkaran fal yuwayyir biyadihi dst. Sedang al-Qaeda menafsiri ayat ini, pemberantasan kemungkaran melalui pemusnahan terhadap titik sentral terjadinya kemungkaran itu sendiri dengan segala kekuatan yang dimilikinya adalah suatu kewajiban setiap umat Islam. (baca, al-Qaeda).
Hancurnya gedung kembar WTC ini menjadi cikal bakal bermulanya Amerika memusuhi teroris yang mereka proyeksikan Islam sebagai sang otak masalah. “di saat orang masih berfikir tentang bagaimana hal itu terjadi dan kesedihan anggota keluarga korban, media telah mereka-reka kapan Amerika akan memulai peperangan dengan teroris,” (rajaebokgratis.com). Dogma Islam untuk memusnahkan kemungkaran ini malah melahirkan serial gerakan kemungkaran lain yang berlapis-lapis. Kasus serupa terjadi pada peristiwa bom bunuh diri bali. Dan mereka yang sok bijaksana menjadi khalifa, amsal Islamic State Irak and Syiriah (Isis), Fon Pembela Islam (FPI) dan beberapa oeganisasi lain yang tak mungkin panulis sebut disini malah bersikokoh untuk senantiasa mengusahakan terbentuknya Daulah/Khilafa Islamiyah. Ini salah siapa, Dogma dan diktat Agama atau salah kita dengan mudah menafsirkan seruan agama tak cukup syrat?
Selanjutnya, sejarah mencatat lelucon umat beragama yang salah tafsir tidak cukup-selesai sampai di sini, pada kesalahan gerak vertikal dan pendekatan diri kepada tuhan, pada sejrh keriminl tersebabkan memperjuagan agam di tengah-tengah kompleksitas umat berbangsa dan beragma. Lebih dari itu di antara sesama Muslim pun sering juga merebut medali emas kebenarn golongan dan ajaran sekte mereka. Sebut saja Qadariyah dan Jabariyah yang tidak pernah keluh memperdebatkan keesaan Tuhan, naib manusia dan taqdir. Khwarij, Syiaah dan Murjiah telah lama—sejak 14 abad yang lalu—bontang-banting merebut kebenaran siapa sebenarnya yang layak menjadi pengganti Nabi menjadi Khalifah, yang pada akhirnya masing-masing diantara meraka menjadi sekte sempalan yang tidak pernah akur. Namun, entah ajran dan golongan mereka hingga abad ini masih bertahan dtu sudah lapuk dimakan zaman. Tapi yang jelas, pertikaiaan antar golongan sampai saat ini semakin subur berkembang biak di tanah ibu pertiwi.
Penentuan awal Ramadhan dan 1 Syawal (awal Ramadhan dan Idul Fitri) antara NU dan Muhammadiyah sudah sering meningalkan fitnah pengkafiran satu sama lain. Muhammadiyah mendeklarasikan Trawih 10 rakaat, menetapkan label Bid’ah pada kita yang lumrah menjalankan ritual tawassulan dan ziarah kubur seta berbagai kreatifitas tradisi keagamaan. Begitupun dengan NU yang tambah hari tambah kreatif memproduksi pola, mahana culture keagamaan, sehingganya menambah spirit kalangan Muhammadiyah untuk memproduksi label biid’h, haram dan kafir sekalipun. Lebih-lebih ketika NU semakin fariatif membentuk gagasan ideologi, sebut saja akhhir-akhir ini muncul istiah Aswajah Annahdliyah dan sebutan Islam Nusantara. Ini yang membuat sekte lain manggelang-gelengkan kepala, mana ada Aswajah an-Dahliyah? Aswajah selain Nahdliyah siapa dan seperti apa? Apa itu Islam Nusantara dan validitas kebenaran Islam Nusantara dari mana? Ada-ada saja.
Agamaku Nilai dan Kyaiku Figur
Berbincang masalah ikhtilaf, seakan sudah tak ada angka yang dapat menghitungnya. “Aslim, Taslam,” tulis Nabi dalam surat yang ia kerimkan kepada Raja Hiraklius setelah kesekian kalinya ia mengajaknya untuk masuk Islam namun ia enggan dengan ajakan Muhammad (baca, Taridus Sharikh/Bukhari). Di lain kesempatan, Nabi talah menjamin keselamatan bagi kalangan Muslim itu sendiri “al-muslimu man salima al-muslimuna biyadihi wa lisanihi”. Ayat ini menyiratkan bahwa sesama muslim tidak akan perna ada pertikaian, kriminal dan bahkan pengkafiran. Islam adalah agama damai yang selalu menjadi rahmat bagi seluruh alam. Memilih Islam berarti memilih ketentraman, ketenganan dan kebersamaan. Namun kenapa sampai saat ini masih ada stigma bahwa Islam adalah embrio terjadinya perlakuan teror, kalangan Muslim di belahan dunia dan bahkan di tengah-tengah kita masih ada yang bakat untuk saling menghujat dan menyalahkan. Yang lebih miris ketika memlihat salah satu sekte sempalan Agama Islam yang menganggap saudaranya sesama Islam Najis dengan menyiram tempat solat kaum muslim itu sendiri (realita di Talango dan Baluto). Ini siapa yang mesti diperbaiki?
Selain Islam adalah juru penyelamat, Islam juga mangajarkan persaudaraan, persatuan, kemanusiaan dan kebangsaan sebut saja surat Al-maidah: 2, al-balad: 12-16, Ali Imron: 103. Selain itu, statement Ya Ayyuha an-Nasu terlalu banyak terdapat di dalam al-Qur’an yang mengajak kita untuk senantiasa menggandrungi sifat kemanusiaan. Lalu, apa ini tidak cukup mengajak kita untuk menjadi orang yang tidak apatis pada realita ketimpangan sosial, ketertindasan, kebobrokan moral serta tidak peduli pada kemajmukan dan perbedaan sosio kultural? Seumpama kaum Sufi yang tak lain kerjanya hanya Dzikir tapi tidak pernah Fikir dan Amal shaleh, Islam garis keras yang hanya ingin selalu amal shaleh tapi tidak didasari atas nilai Dzikir dan fikir terlebih dahulu, higa serangkaian gerakannya malah menimbulkan keriminal tan bertubi-tubi. Sungguh tidak ada gunanya
Bila demikian keislaman mereka dan apalagi kita harus di telaah kembali. Kita sudah tergolong pada bagian yang mana?. Islamkah kita? Tau kalau Islam masih belum bisa membuat para pemeluknya damai, amai tentram dan sejahtera maka apa yangharus kita lakukan? Bagi penulis menjadi umat beragama agama tidak cukup pada peniruan kita pada mereka yang mengerjakan solat, zakat, puasa tanpa tahu apa yang ingin Tuhan sampaikan dengan kewajiban-kewajiban tersebut. Beragama tidak cukp hanya menjalai ritus-ritus keagamaan. Beragama tida cukup hanya membaca teks keagamaan tanpa tahu apa maksud dan arti dari apa yang kita baca. Beraga harus bisa menjalankan kompleksitas ajaran dan nilai agama itu sendiri. Dan ketika teks, dogma dan diktat agama hanya memperparah keadaan—seperti mereka yang ekstrim—dan beragama hanya akan membuat kita meninggalkan kemanusiaan dan kebangsaan kita—seperti cerita sufi diatas—maka memilih nilai dan membentuk diri sebagai figur adalah suatu keniscayaan.
Jadi, adalah hal yang tidak melampaui kewajaran seruan Nitzshe ‘Tuhan telah mati’, Agama/’selamat’ tanpa juru penyelemat. Lantaran setelah Feodalis dan sosialis komunnis lalu kapitalis hingga Agama tidak bisa mengentaskan kemelut permasalahna bangsa dari ketimpangan sosial dan kriminalitas maka menjadi selamat tanpa juru penyelat adalah pilihan. Semuanya sudah terdistorsi dengan kesalahan dan kelemahan masing-masing maka akhirnya semua setiap manusia harus menjadikan pribadi penyelamat yang berpegang teguh nilai ketuhanan, kemanusiaan dan kebangsaan dengan mengusahakan diri sendiri sebagai figur dan teladan.
Agama nilai berarti agama yang tidak terpatri pada teks keagaamaan serta pada dogma dan diktat agama yang kita sering salah dalam menerjemahkannya. Akan tetapi yang mesti kita harus pertontonkan dalam keseharian kita adalah nilai-nilai keagamaan itu sendiri. Maka dari itu fokus kajian para kesarjana dan para mufassir abad ini adalah memahami teks. Guna mengambil hikmah dan pesan yang mau disampaikan dalam teks tersebut. Sebut saja Fazlur Rahman (Double Movement), Muhammad Abduh (Subtansialis), Amin Al-Khulli (Idealis Linguistik) hingga pada Gadamar dan Paul Recour telah mengusahakan modul baru di dalam dialektika tefir kontemporer mulai dari Tanda, Petanda, Penanda, Signifikansi (baca: Elemin-Elemin Semiologi, Ronand barthes), sistem linguistik, sintagma, paradigma (baca: Teori Interpretasi, Paul Recour) hingga hemeneutika (baca, Kritik terhadap Study al-Qur’an Kaum Liberal), semiotika, semantik dan sistematika (baca, Hiper Semeotika) hal ini semua diproyksikan untuk mengetahui Agama secara komplks dan universal. Bukan di fahami secara sepenggal-sepenggal seperti beberapa kalanganyang saya sebut di atas.
Figur Kyaiku merupakan suatu usaha yang mesti kita laksanakan adalah memantakan diri sebagai panutan dan menjadikan siri sendiri sebagai pijakan di dalam segala tindak tannduk kesahrian kita. Yang harus kita ikuti adalh naluri demi kemaslahatan bukan mereka yang berpredikat kyai/guru/dosen atu palah katamu yang bisanya hanya menerima zakat kala Ramadan dan memerintahkan orang lain ditambah lagi ia tidak peduli pada nasib bangsa ini. Wallahu a’lam!
Leave a Reply