Hamzah Fansuri memahami Tuhan sebagai zat yang memiliki berbagai sifat kemuliaan. Sifat kemuliaan yang disebutkan dalam Syair Perahu diantaranya Rabb al-Alamim, ahadiyat atau esa, kadim, al-Latif, wujud, jalal, jamal, wujud Allah, kamal, iradat atau maha berkehendak, kudrat atau mahakuasa, ghani, Tuhan yang esa, Tuhan yang kekal, Tuhan yang ghafil, hidup (hayat), mahatahu (alim), maha mendengar (sama), melihat (bashar), kalam (berkata). Di dalam ajaran Islam dikenal 20 sifat wajib Allah, seperti wujud (ada), wahdaniyat (esa), kudrat (kuasa), iradat (berkehandak) ilmu ( berilmu), hayat (hidup), sama (mendengar), bashar (melihat), dan kalam (berfirman).
Hamzah Fansuri memahami Tuhan sebagai khalik yang berbeda dengan dengan makhluknya, disebutkannya:
Upama kapas benang dan kain,
Asalnya tunggal warnanya lain. (I:43).
Meskipun demikian, pendekatan yang sunguh-sungguh akan sampai pada kesamaan dengan Tuhan. Dalam syairnya Hamzah Fansuri mengemukakan antara lain:
Anak makhdum amalnya daim,
Senantiasa sama dengan al-Karim. (I: 4).
Buahnya lengkap tiada tersembunyi,
Sungguhnya lengkap tiada berdinding. (I: 6)
Mahw Raja, mahw Pengeran,
Asal-mulanya satu tiada berlainan, (I: 16),
Itulah wujud menyatakan ahadiyat. (I: 20),
Sungguhpun dua Tuhan dan sahaya,
Dimanakan putus wujud dan cita, (I: 45),
La ilaha illa llah itu kesudahan kata,
Tauhid akan ma’rifat semata-mata,
Hapuskan [hendak] perkara biasa,
Hamba dan Tuhan tiadalah beda./ (II: 43).
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa Hamzah Fansuri termasuk penganut paham wujudiah, yang ingin mewujudkan kesatuan makhluk dengan khalik.
Wujudiyah Hamzah Fansuri: Ajaran Sufism Nuansa Nusantara
Hamzah Fansuri memiliki pandangan tasawuf yang berbau panteisme (wujudiyah). Ibnu Arabi dianggap sebagai tokoh yang sangat berpengaruh dalam pemikiran tasawuf Hamzah Fansuri melalui karyakaryanya. Bahkan Hamzah Fansuri dianggap orang pertama yang menjelaskan paham wihdat al-wujud Ibnu Arabi untuk kawasan Asia Tenggara. Hamzah Fansuri juga mengutip pendapat para sufi yang beraliran wujudiyah dan non-wujudiyah untuk menjelaskan dan memperkuat pendapat Ibnu Arabi yang dinisbatkan kepadanya, seperti Abu Yazid al-Busthami, al-Junaid al-Baghdadi, al-Hallaj, al-Ghazali, al-Mas’udi, Farid al-Din al-Attar, Jalal al-Din al-Rumi, al-Iraqi, al-Maghribi Syah Ni’matullah, dan al-Jami.
Hamzah Fansuri tidak hanya menerjemahkan dan menghimpun pendapat mereka, namun juga dengan keahlian dalam menyusun kata-kata sehingga sesuai dengan paham wihdat al-wujud Ibnu Arabi.[1] Walaupun demikian Hamzah Fansuri masih disebut sebagai penganut tarekat Qadiriyah yang dinisbatkan kepada Syekh Abdul Qadir al-Jailani dan beraliran Sunni. Sedangkan dalam bidang fikih, Hamzah Fansuri disebut bermazhab al-Syafi’i.[2]
Hamzah Fansuri memulai ajaran tasawufnya dengan mengatakan bahwa Tuhan adalah Dzat yang Maha Suci dan Maha Tinggi yang menciptakan manusia.
Hamzah Fansuri mengatakan:
Ketahuilah, hai segala kamu anak Adam yang Islam, bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala menjadikan kita, dari pada tiada diadakannya; dan dari pada tiada bernama diberi nama; dan dari pada tiada berupa diberi berupa; lengkap dengan telinga, dengan hati, dengan nyawa, dengan budi. Yogya kita cari Tuhan kita ini supaya kita kenal dengan makrifat kita atau dengan khidmat kita kepada guru yang sempurna mengenal dia supaya jangan taqsir kita”[3]
Dari ungkapan di atas, ada dua pandangan esensial Hamzah Fansuri, yaitu pertama, tentang keberadaan Tuhan dianggap memiliki posisi sangat Tinggi dan Suci di hadapan manusia (mahluq). Kedua, seorang salik (pejalan tasawuf) harus melalui seorang guru/Syeikh yang dapat membimbing dan mengantarkan si salik untuk dapat menemukan Tuhannya (ma’rifatullah).
Dalam salah satu syairnya, Hamzah Fansuri mengatakan:
Cahayanya-Nya terlalu nyarak
Dengan rupa kita yang banyak
Ia juga takur dan arak
Jangan kau cari jauh, hai anak.[4]
Ajaran tasawuf Hamzah Fansuri lainnya adalah terkait dengan hakikat wujud dan penciptaan. Hamzah Fansuri melihat bahwa wujud itu hanya satu walaupun terlihat berbilang (banyak). Dari wujud yang satu ini ada yang merupakan kulit (madzhar, kenyataan lahir) dan ada yang berupa isi (kenyataan batin). Semua benda di dunia ini sebenarnya merupakan pancaran (manifestasi/tajalliyat) dari yang hakiki, yang disebut al-Haqq Ta’ala (Allah SWT. itu sendiri).
Ia menggambarkan wujud Tuhan bagaikan lautan dalam yang tak bergerak. Sedangkan alam semesta ini merupakan gelombang lautan wujud Tuhan. Pengaliran dari Dzat yang Mutlak ini diumpamakan gerak ombak yang menimbulkan uap, asap, dan awan, yang kemudian menjadi dunia gejala. Itulah yang disebut ta’ayyun dari Dzat yang la ta’ayyun. Itu juga yang disebut tanazul. Kemudian segala sesuatu kembali lagi pada Tuhan (taraqqi), yang digambarkan sebagai uap, asap, awan, lalu hujan dan sungai, dan kembali lagi ke lautan.[5] Ajaran Hamzah Fansuri inilah yang kemudian mendapat pertentangan dari para ulama sufi Sunni Nusantara.
Perumpamaan antara Tuhan dan alam tersebut diilustrasikan oleh Hamzah Fansuri melalui ungkapannya berikut:
Laut tiada bercerai dengan ombaknya, ombak tiada bercerai dengan lautnya. Demikian juga dengan Allah SWT., tiada bercerai dengan alam, tetapi tiada di dalam alam dan tiada di luar alam dan tiada di bawah alam dan tiada di kanan alam dan tiada di kiri alam dan tiada di hadapan alam dan tiada di belakang alam dan tiada bercerai dengan alam dan tiada bertemu dengan alam dan tiada jauh dari alam.[6]
Ungkapan Hamzah Fansuri di atas jelas menunjukkan paham tasawufnya yang panteis. Sebab ungkapan tersebut seakan menunjukkan bahwa tidak ada jarak antara Tuhan dengan alam (mahluq). Ungkapan tersebut sesuai dengan hadis Nabi Saw., bahwa barangsiapa mengenal dirinya maka akan dapat mengenal Tuhannya (man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu). Hamzah Fansuri, sebagaimana dikutip Miftah Arifin, menyatakan bahwa arti mengenal Tuhannya dan mengenal dirinya:
Diri kuntu kanzan makhfiyyan [itu] dirinya dan semesta sekalian dalam ilmu Allah. Seperti biji dengan pohon; pohonnya sebiji itu; sungguh pun tiada kelihatan tetapi hukumnya ada dalam biji itu”…”Hai Thalib! Mengetahui man ‘arafa nafsahu bukan mengenal jantung dan paru-paru, dan bukan mengenal kaki dan tangan. Arti man ‘arafa nafsahu adanya dengan ada Tuhannya Esa jua.[7]
Dari ungkapan Hamzah Fansuri tersebut dapat dilihat bahwa dia adalah pengamal dan pengembang paham tasawuf wujudiyah yang konsisten. Ungkapan lainnya sebagaimana dapat dilihat dari syairnya:
Tuhan kita yang bernama Qadim
Pada sekalian makhluk terlalu karim
Tandanya qadir lagi hakim
Menjadikan alam dari al-Rahman al-Rahim
Rahman itulah yang bernama sifat
Tiada bercerai dengan kunhi Dzat
Di sana perhimpunan sekalian ibarat
Itulah hakikat yang bernama maklumat
Rahman itulah yang bernama wujud
Keadaan Tuhan yang bersedia ma’bud
Kenyataan Islam, Nasrani, dan Yahudi
Dari Rahman itulah sekalian maujud[8]
Menurut Hamzah Fansuri, Tuhan sebagai Wujud Tunggal yang tiada bandingan dan sekutu, menampakkan sifat-sifat kreatif-Nya melalui ciptaan-Nya yang berbagai-bagai di alam semesta. Sifat dan tindakan-Nya yang kreatif inilah yang disebut sebagai Wujud-Nya yang tampak kepada manusia. Pendapatnya ini dirujuk kepada al-Qur’an Surat al-Baqarah/2: 115, yang artinya kurang lebih: “Ke mana pun kau memandang akan tampak wajah Allah (ainama tuwallu fa tsamma wajhullahi)”. Wajah Allah SWT. yang dimaksud dalam ayat ini bukanlah wajah lahir, akan tetapi wajah batin-Nya, yaitu sifat-sifat-Nya yang Maha Pengasih (al-Rahman) dan Maha Penyayang (al-Rahim). Rahman adalah cinta Tuhan yang esensial yang dilimpahkan kepada siapa saja. Sedangkan Rahim adalah cinta Tuhan yang wujub, artinya hanya wajib diberikan kepada orang-orang pilihan yang benar-benar dicintainya.[9]
Bagi penganut tasawuf wujudiyah, sifat Rahman dan Rahim Tuhan merupakan cinta Tuhan kepada manusia yang dipancarkan dari wajah Tuhan kepada mata batin manusia. Semua ciptaan yang wujud di alam semesta ini merupakan pancaran dari Rahman dan Rahim-Nya sebab Rahman-Nya telah meliputi segala sesuatu. Pandangan-pandangan tasawuf wujudiyah yang dikembangkan Hamzah Fansuri ini kemudian terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu sehingga berkembang ke seantero Nusantara. Tasawuf wujudiyah Hamzah Fansuri membawa pengaruh luas, tidak hanya berkembang di wilayah Sumatera (Aceh) semata, namun juga hingga ke Sulawesi, Kalimantan, Jawa, bahkan hingga Mancanegara.
Terdapat ajaran khas Hamzah Fansuri mengenai Zat Tuhan. Suatu perwujudan ajaran Sufism Nusantara yang membedakan dengan berbagai ajaran tasawauf sebelumnya. Dalam Hamzah Fansuri, Tuhan dapat diketahu setelah seorang salik menjalani 5 tingkatan wujud menuju Tuhan, yang dalam hal ini dikenal dengan ajaran martabat lima. Suaru ajaran memosisikan Tuhan dalam pada apa segala yang ada di alam ini, yang oleh sufi sebelumnya disebut tajalli “self-disclourse” (penyingkapan diri dan pembukaan diri).[10]
Hamzah Fansuri menerjemahkan tajalli sebagai kenyataan dan penunjukan, maksud penampakan pengetahuan Tuhan melalui penciptaan alam semesta dan isinya. Penciptaan secara menurun dari atas ke bawah, dari yang tertinggi ke yang terendah sesuai peringkat keruhanian dan luas sempit sifatnya dari yang umum kepada yang khusus. Zat Tuhan itu disebut lataayyun, yakni dia nyata. Disebut lataayyun karena akal pikiran, perkataan , pengetahuan , dan makrifat manusia tidak akan samapai kepada-Nya.
Apbila para sufi berbicara tentang prinsip-prinsip penciptaan , mereka tidakmlah berbicara tentang tentang prinsip penciptaan , mereka tidaaklah berbicara tentang zat Tuhan yang tidak dapat dicaai oleh akal pikiran dan makrifat yang dapat dicapai oleh pikiran dan makrifat ialah jalannya penciptaan secara bertingkat. Di mulai dari yang paling dekat kepadanya samapai kepada yang paling jauh kepad-Nya secara spiritual. Walau pun zat Tujhan itu lataayyun namun ia ingin dikenal, maka dia menciptakan alam semesta dengan maksud agar dirinya dikenal. “Kehendak supaya dikenal” inilah yang meruupakan permulaan tajalli ilahi.setelah tajjlli dilakukan maka ia dinamakan ta’ayyun yang berarti ”nyata”. Keadaan ta’ayyun inilah yang dapart dicapai oleh pikiran , pengetahuan, dan makrifat:
Taayyun awal wujud yang jami’i
Pertama nyata ruh idafi
Semesta alam sana lagi ijmali
Itulah hakikat Muhammda an-Nabi
Thani wijud yang attamyizi
Di sana terperi sekali ruhi
Semesta alam sana tafsil yang meujmali
Itulah yang bernama haqiqat nsani
Taay’yun thalis wujud yang mufassoli
Itulah anugrah dari kurnia ilahi
Ssemsta alam sana tafsil fi’li
Itulah bernama a’yan khariji
[1] Alwi Shihab, Islam Sufistik: “Islam Pertama” dan Pengaruhnya hingga Kini di Indonesia (Bandung: Mizan, 2001), h. 125-126
[2] Lihat Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara (Surabaya: al-Ikhlas, t.t.), h. 36-37
[3] Hamzah Fansuri, “Asrar al-‘Arifin”, dalam Johan Doorenbos, De Geschriften Van Hamzah Pansoeri, (Leiden: N.V v.h Batteljee & Terpstra, 1933), h. 120
[4] Miftah Arifin, Sufi Nusantara…, h. 39; Johan Doorenbos, De Geschriften…, h. 60-61.
[5] M. Solihin, Sejarah…, h. 32; Melacak…, h. 35.
[6] Hamzah Fansuri, Asrar al-‘Arifin…, h. 128; Miftah Arifin, Sufi Nusantara…, h. 40
[7] Ibid., h. 41.
[8] Miftah Arifin, Sufi Nusantara…, h. 39; Drewes and Brakel, The Poems…, h. 70-72.
[9] Abdul Hadi WM., Tasawuf yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap KaryaKarya Hamzah Fansuri, (Jakarta: Yayasan Paramadina, 2001), h. 56-63.
[10] Kautsaar Azhari Noor , Ibn-Arabi Wahadatul wujud dalam perdebatan, h. 37-38.
Leave a Reply